Thursday, 22 February 2018

Makalah Kebijakan Moneter Islam


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah
Keadilan sosio ekonomi, salah satu sisi yang paling menonjol dari suatu masyarakat Islam yang diharapkan menjadi suatu jalan hidup (way of life) dan bukan sebagai fenomena yang terisolasi, semangat ini harus menembus seluruh interaksi manusia, sosial, ekonomi, dan politik.
Ketidakadilan di suatu daerah telah tersebar ke daerah, satu lembaga yang salah tidak mungkin bisa mempengaruhi yang lain, bahkan dibidang bisnis dan ekonomi, semua nilai harus bergerak kearah keadilan sehingga secara keseluruhan mendukung bukan melemahkan apalagi menghilangkan, keadilan sosio ekonomi.
Di antara ajaran Islam yang paling penting untuk menegakkan keadilan dan membatasi eksploitasi dalam transaksi bisnis adalah pelarangan semua bentuk upaya “memperkaya diri secara tidak sah (aql amwal al-nas bi al-batil) Al-qur’an dengan tegas memerintahkan kaum muslimin untuk tidak saling berebut harta secara batil atau dengan cara yang tidak dapat dibenarkan, sebagaimana firman Allah SWT  dalam surat al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi:
 وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِاْلإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ {البقرة: 188}
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”

       

Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian (1). Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan. Hampir semua sektor ekonomi kapitalis terait dengan sistem  bunga sehingga sektor moneter lebih cepat berkembang dari pada sektor moneter. Hal ini disebabkan karena sektor moneter lebih cepat memberikan keuntungan dari pada sektor rill.
Oleh karena itu, pemakalah tertarik untuk mengupas lebih dalam mengenai pandangan Islam mengenai kebijakan moneter dalam rangka menjaga keadilan, ketentraman, dan keharmonisan sosio-ekonomi masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah
1.    Apa Pengertian dari Sejarah Perkembangan Moneter islam ?
2.    Bagaimana perkembangan moneter islam pada masa Rosululloh ?
3.    Bagaimana perkembangan moneter islam pada masa Khulafaur Rosyidin ?
4.    Bagaimana perkembangan moneter islam pada masa Pasca Kholifah ?


1.3 Tujuan
1.    Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Kebijakan Moneter Islam.
2.    Untuk mengetahui perkembangan moneter islam pada masa Rosululloh.
3.    Untuk mengetahui perkembangan moneter islam pada masa Khulafaur Rosyidin.
4.    Untuk mengetahui perkembangan moneter islam pada masa Pasca Kholifah

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Kebijakan Moneter Islam
Sistem moneter sepanjang zaman telah mengalami banyak perkembangan, sistem keuangan inilah yang paling banyak dilakukan studi empiris maupun historis bila dibandingkan dengan disiplin ilmu ekonomi yang lain. Sistem keuangan pada zaman Rasulullah digunakan bimetalic standard yaitu emas dan perak (dirham dan dinar) karena keduanya merupakan alat pembayaran yang sah dan beredar di masyarakat. Nilai tukar emas dan perka pada masa Rasulullah ini relatif stabil dengan nilai kurs dinar-dirham 1:10. Namun demikian, stabilitas nilai kurs pernah mengalami gangguan karena adanya disequilibrium antara supply dan demand. Misalkan, pada masa pemerintahan Umayyah (41/662-132/750) rasio kurs antara dinar-dirham 1:12, sedangkan pada masa Abbasiyah (132/750-656/1258) berada pada kisaran 1:15. [[1]]

Di samping nilai tukar pada dua pemerintahan ini, pada masa yang lain nilai tukar dirham dan dinar mengalami berbagai fluktuasi dengan nilai paling rendah pada level 1:35 sampai dengan 1:50. Instabilitas dalam nilai tukar uang ini akan mengakibatkan terjadinya bad coins to drive good coins out of circulations [[2]] atau uang kualitas buruk akan menggantikan uang kualitas baik, dalam literatur konvensional peristiwa ini disebut sebagai hukum Gresham. Seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Bani Mamluk (1263-1328 M), di mana mata uang logam yang beredar terbuat dari fulus (tembaga) mendesak keberadaan uang logam emas dan perak. Peristiwa ini terjadi bila uang dari jenis dinar (emas) dan dirham (perak) menghilang dari peredaran karena adanya perbedaan nilai kurs dengan daerah lain. Sebagai contoh bila kurs di wilayah Mamluk akan dibawa ke daerah lain yang akan dapat ditukarkan dengan 25 fulus, tentu saja perbedaan nilai ini akan mengakibatkan emas di peredaran akan menghilang. Oleh Ibn Taimiyah dikatakan bahwa uang dengan kualitas rendah akan menendang keluar uang kualitas baik

2.2      Manajemen Moneter Islam
Sebuah pertanyaan awal yang mesti dijawab adalah apakah keberadaan fiduciary money dalam ekonomi Islam diperbolehkan? Adakah mekanisme yang memungkinkan untuk mencapai kestabilan nilai tukar fiduciaty money dengan menghilangkan penggunaan suku bunga dan instrumen lain yang dilarang dalam syari’ah?
Dalam Alqur’an maupun sunnah tidak ditemukan secara spesifik keharusan untuk menggunakan dinar (emas) dan dirham (perah) sebagai  standar nilai tukar uang (full-bodied monometallic standard). Khalifah ‘Umar bin Khatab (23/644), telah mencoba untuk memperkenalkan jenis uang fiducier ini juga mendapat dukungan seperti Ahmad ibn Hamball (241/855), Ibn Hazm (456/1064) dan Ibn Taimiyah (505/1328). Merujuk dari pendapat para fuqaha ini tidak ditemukan akan keharusan memakai emas dan perak sebagai alat pembayar, walaupun pada masa itu keberadaan  full-bodied money merupakan sebuah kezaliman. Namun di samping memperbolehkan uang fiducier, Ibn Taimiyah mengingatkan bahwa penggunaan uang ini akan mengakibatkan hilangnya uang dinar dan emas dari peredaran karena adanya hukum Gresham. Imam Al-Ghazali memperbolehkan penggunaan uang yang tidak dikaitkan dengan emas atau perak selama pemerintah mampu menjaga nilainya.
Secara umum, para fuqaha telah menyepakati bahwa hanya otoritas yang berkuasa saja yang berhak untuk mengeluarkan uang tersebut. Dalam hal ini, Imam Al-Ghazali mensyaratkan pemerintah untuk menyatakan uang fiducier yang dicetak sebagai alat pembayaran yang resmi, wajib  menjaga nilainya dengan mengatur jumlah uang beredar sesuai dengan kebutuhan dan memastikan tidaknya perdagangan uang. Penekanan Alqur’an mengenai uang adalah jaminan adanya keadilan dalam fungsinya sebagai alat tukar, alat ukur dan alat penyimpan daya beli.
Keberadaan uang  dalam sebuah perekonomian memberikan arti yang terpenting, ketidakadilan dari ukur yang diakibatkan adanya instabilitas nilai tukar uang akan mengakibatkan perekonomian tidak berjalan pada titik keseimbangan. Hal ini akan semakin mempersulit untuk merealisasikan keadilan dalam sosial ekonomi dan kesejahteraan sosial. Ibn Khaldun mengatakan bahwa suatu negeri tidak akan mungkin mungkin mampu melakukan pembangunan secara berkesinambungan tanpa adanya keadlian dalam sistem yang dianutnya.[[3]] Stabilitas harga berarti terjaminnya keadilan uang dalam fungsinya sehingga perekonomian akan relatif berada dalam kondisi yang memungkinkan teralokasinya sumber daya secara merata, terdistribusinya pendapatan, optimum growth, full employment dan stabilitas perekonomian.
Pada dasarnya, kebutuhan manusia dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu perlu serta mendesak dan tidak perlu serta kurang bermanfaat. Komponen pertama dapat dimasuki sebagai permintaan uang untuk konsumsi pemenuhan kebutuhan dan investasi produktif. Sedangkan jenis kedua meliputi konsumsi yang berlebihan, investasi yang tidak produktif dan spekulasi.
Dengan kata lain, upaya regulasi untuk mengendalikan permintaan uang dengan suku bunga sebagai instrumen moneter malah akan mengakibatkan penyalahgunaan sumber dana untuk tujuan yang tidak produktif. Regulasi yang dicirikan dengan memainkan peranan suku bunga dalam sektor makro telah membawa permintaan uang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang kurang perlu, investasi yang kurang produktif dan tingginya spekulasi. Oleh karena itulah para ekonom Islam lebih mengandalkan pada tiga variabel-variabel penting di dalam manajemen permintaan uang, yaitu:
a.       Nilai-nilai moral
b.      Lembaga-lembaga sosial-ekonomi dan politik, termasuk mekanisme harga
c.       Tingkat keuntungan rill sebagai pengganti keberadaan suku bunga.
Ketiga variabel ini akan saling mendukung dalam mengendalikan permintaan uang. Meskipun nilai-nilai moral kurang mampu secara langsung dalam menentukan seberapa besar jumlah uang yang diminta namun variabel ini akan mengurangi sikap konsumsi yang boros dan tidak perlu, juga akan mengurangi tindakan penggunaan uang yang bersifat spekulatif. Mekanisme harga juga akan membantu mengalokasikan sumber daya pada tujuan yang lebih efesien. Keberadaan suku bunga sebagai instrumen intermediary dalam sistem keuangan dapat menjadikan pola konsumsi masyarakat di luar batas kemampuannya dan mengarahkan investasi pada bidang yang kurang produktif atau spekulatif, disebabkan sistem bunga telah gagal sebagai mekanisme kontrol terhadap penggunaan dana pinjaman. Dengan adanya tingkat keuntungan sebagai pengganti dari keberadaan suku bunga diharapkan akan lebih mampu untuk mengarahkan pada pola permintaan uang yang ditujukan untuk konsumsi yang tidak berlebihan dan investasi yang berorientasi keuntungan di sektor rill. Berkorespondensinya ketiga variabel dalam satu sistem ini akan dapat menciptakan pola permintaan uang yang relatif stabil.

2.3 Sejarah Perkembangan Moneter Islam Pada Masa Rosululloh
            Mata uang yang digunakan bangsa Arab adalah dinar dan dirham. Dirham diasumsikan sebagai satuan uang, nilai dinar adalah perkalian dari dirham, sedangkan jika diasumsikan sinar sebagai unit moneter, nilainya adalah sepuluh kali dirham. Walaupun demikian, dalam perkembangan berikutnya, dirham lebih umum digunakan daripada dinar. Hal ini sangat berkaitan erat dengan penaklukan tentara Islam terhadap hampir seluruh wilayah kekaisaran Persia.[[4]]
            Sejak nilai tukar merosot terus, Bank Indonesia menerapkan kebijakan suku bunga tinggi. Dari sisi kemampuan SBI menyedot rupiah, hasilnya mulai tampak. Akan tetapi, besaran makro lainnya dan industri perbankan malah sebaliknya. The Asian Banker Journal, Mei 1998, dalam editorialnya menampilkan perkiraan para bankir bahwa tingkat kredit bermasalah di Indonesia tahun 1998 mencapai 20 %, bahkan para analis memperkirakan 50-55 %. [5]
Kebijakan moneter sebenarnya bukan hanya mengotak atik suku bunga. Bahkan sejak zaman Rasulullah Saw dan Khulafaur Rasyidin, kebijakan moneter dilaksanakan tanpa menggunakan instrumen bunga sama sekali.
Perekonomian Jazirah Arabia ketika itu adalah ekonomi dagang, bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam; minyak bumi belum ditemukan dan sumber daya alam lainnya terbatas.
Perekonomian Arab di zaman Rasulullah Saw bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter, bahkan jauh dari gambaran seperti itu. Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab, bahkan menjadi alat bayar resmi : Dinar dan Dirham (2). Sistem devisa bebas diterapkan, tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar atau dirham.
Bila para pedagang mengekspor barang, berarti dinar/dirham diimpor. Sebaliknya, bila mereka mengimpor barang, berarti dinar/dirham diekspor. Jadi, dapat dikatakan bahwa keseimbangan supply dan demand di pasar uang adalah derived market dari keseimbangan aggregate supply dan aggregate demand di pasar barang dan jasa.
Nilai emas dan perak yang terkandung dalam dinar dan dirham sama dengan nilai nominalnya, sehingga dapat dikatakan penawaran uang elastis sempurna terhadap tingkat pendapatan. Tidak adanya larangan impor dinar/dirham berarti penawaran uang elastis; kelebihan penawaran uang dapat diubah menjadi perhiasan emas atau perak. Tidak terjadi kelebihan penawaran atau permintaan sehingga nilai uang stabil. Untuk menjaga kestabilan ini, beberapa hal berikut dilarang:
a.    Permintaan yang tidak riil. Permintaan uang adalah hanya untuk keperluan transaksi dan berjaga-jaga.
b.    Penimbunan mata uang (At-Taubah:34-35) sebagaimana dilarangnya penimbunan barang.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗوَالَّذِينَيَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. “ (Q.S. At Taubah:34)
يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْۖهَٰذَامَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
“Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”(Q.S. At Taubah:35)
c.       Transaksi talaqqi rukban, yaitu mencegat penjual dari kampung di luar kota untuk mendapat keuntungan dari ketidaktahuan harga. Distorsi harga ini merupakan cikal bakal spekulasi.
d.      Transaksi kali bi kali, yaitu bukan transaksi tidak tunai. Transaksi tunai diperbolehkan, namun transaksi future tanpa ada barangnya dilarang. Transaksi maya ini merupakan salah satu pintu riba.
e.       Segala bentuk riba (Al-Baqarah : 278).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al Baqarah:278)

2.4 Sejarah Perkembangan Moneter Islam Pada Masa Khulafaur Rosyidin
2.4.1. Perkembangan Moneter Islam masa khalifah Abu Bakar Assidiq
Pada masa khalifah Abu Bakar Assidiq dalam waktu dua tahun tiga bulan, bangsa-bangsa yang memberontak itu dapat kembali tenang dan menjadi bangsa bersatu yang kuat, disegani dan berwibawa, yang akhirnya dapat menerobos dua emperium besar yang ketika itu menguasai dunia dan menentukan arah kebudayaannya.  Kedaulatan ini pula yang kemudian mengemban peradaban di dunia selama berabad-abad sesudahnya. Sejarah belum pernah mencatat peristiwa semacam ini (Haekal, 2004:). beliau tidak melakukan perubahan terhadap mata uang yang beredar dinar dan dirham masih menjadi satuan mata uang negara (Al Maqrizy, 1988:129).

Mata uang pada masa itu adalah dinar Heraklius dan dirham Persia, disamping ada uang fulus untuk pembelian barang yang murah. Koin dinar dan dirham pada masa Abu Bakar masih mempunyai berat yang tetap. Nilai dinar sama dengan sepuluh dirham. Nilai satu dirham sama dengan 48 fulus.

2.4.2 Pada masa Khalifah Umar bin Khattab
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, administrasi keuangan kaum muslim didelegasikan kepada orang-orang Persia. Pada saat itu Umar mempekerjakan          ahli pembukuan dan akuntan orang Persia dalam jumlah besar untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran uang di baitul maal (keuangan negara). Mereka juga menggunakan satuan dirham untuk membantu meningkatkan sirkulasi uang.         Pada masa kekhilafahan Umar juga diterbitkan surat pembayaran cek yang penggunaannya diterima oleh masyarakat. Menurut Al-Yaqubi, Umar mengintruksikan untuk mengimpor sejumlah barang dagangan dari Mesir ke Madinah. Karena barang yang diimpor jumlahnya cukup besar, pendistribusiannya menjadi terhambat.


Oleh karena itu, Khalifah Umar menerbitkan sejumlah cek kepada orang-orang yang berhak dan rumah tangga sehingga secara bertahap setiap orang dapat pergi ke bendahara kaum muslimin dan mengumpulkan hartanya. Penggunaan sejumlah cek oleh Khalifah Umar yang diterima oleh publik menunjukkan penggunaanya sebagai alat pembayaran di periode awal Islam (Sadr, 1989). Dengan terbunuhnya Yazdigird perlawanan Persia di seluruh kerajaan itu menjadi padam. Sebagian mereka sudah ada yang mau berdamai dengan pihak Muslim, kecuali pihak Turki penduduk Balkh (Haikal, 1973:109). Ditaklukannya Persia, percetakan uang logam terus beroperasi.
Pada masa Nabi dan sepanjang masa Khulafaur Rasyidin koin mata uang asing dengan berbagai bobot sudah dikenal di Arabia, seperti dinar, sebuah koin emas dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan satu mitsqal atau sama dengan dua puluh qirat atau seratus grain barley.
Satu mitsqal juga ekuivalen dengan 4,25 gram (Johnson, 1968:547). Bobot dirham tidak seragam. Untuk menghindari kebingungan, Umar menetapkan bahwa dirham perak seberat 14 qirat atau 70 grain barley. Maka rasio antara satu dirham dan satu mithqal adalah tujuh per sepuluh
2.4.3 Pada Masa Khalifah Usman bin Affan
Pada masa khalifah Usman bin Affan sudah ada mata uang yang bertuliskan Bismillah, Barakah, Bismillah Rabbi, Allah dan Muhammad dengan jenis tulisan Kufi (Al Maqrizy, 1988:60). Bahkan Usman memperlakukan kaum Muhajirin tidak seperti pada masa Umar yang tidak boleh berpindah-pindah. Kaum Muhajirin diperbolehkan berpindah-pindah di segenap imperium yang tadinya dilarang, dan memperoleh kekayaan yang cukup berlimpah dan menikmati kesenangan. Hidup serba mudah daripada di masa Umar yang harus menahan diri (Haikal, 1973:119).



2.5 Sejarah Perkembangan Moneter Islam Pada Masa Pasca Khalifah
2.5.1 Daulah Bani Umayah
1.    Khalifah Muawiyah bin Abi Sofyan (41-60 H/661-779 M)
Muawiyah bin Sofyan adalah pendiri Daulah Umawiyah. Kareir politiknya bermula ketika ia menjabat sebagai gubernur Syam pada masa Umar bin Khatab dan belanjut di beberapa daerah yang dimenangkannya pada masa Usman bin Affan, seperti Romawi dan Siprus. Sistem pemerintahannya bersifat monarki. Muawiyah menjadikan Damaskus sebagai pusat pemerintahan, dan Baghdad sebagai pusat kegiatan keagamaan. Pembagian ini didasarkan sistem pemerintahannya yang memisahkan antara pemegang otoritas keagamaan dan otoritas pemerintahan. Sepanjang perjalanan kekuasaannya, wilayah islam telah berkembang ke lawasan Timur (Negeri Asia Tengah dan Sindh) dan Barat (Turki, Romawi dan Afrika). Kebijakan moneter Muawiyah bin Sofyan adalah mencetak mata uang,

2. Khalifah Abdul Malik ibn Marwan (66-86 H/685-705 M)
Pemikiran yang serius terhadap penerbitan dan pengaturan uang dalam masyarakat Islam muncul di masa pemerintahan beliau. Abd al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri dnegan memakai kata-kata dan tulisan Arab serta tetap mencantumkan kalimat Bismillahirrahmaanirrahiim pada tahun 74 H (659 M) . Pembuatan mata uang masa itu didasarkan pemikiran bahwa mata uang selain memiliki nilai ekonomi juga sebagai pernyataan kedaulatan Dinasti Islam. Di samping itu, mata uang juga berfungsi sebagai sarana pengumuman keabsahan pemerintahan pada waktu itu yang namanya terpatri pada mata uang tersebut. Khalifah Abdul Malik bin Marwan pun memerintahkan Arabisasi mata uang sebagian dari politik Arabisasi Aparatur Negara masa pemerintahannya.
Mata uang yang dibuat di dunia Islam waktu itu disebut Sikkah. Menurut Ibnu Khaldun kosa kata sikkah berasal dari cincin besi berasal dari mata uang, yang pembuatannya dipukul dnegan palu. Kosa kata sikkah , selain dikenakan terhadap mata uang juga dikenakan terhadap gedung tempat pembuatan mata uang. Karenanya gedung tersebut juga disebut Dar as-Sikkah. Dar as-Sikkah tersebar diberbagai pelosok wilayah Islam pada waktu itu, sehingga Dar as-Sikkah dikenal sampai di luar kawasan Islam.
Di dunia Islam mengenal 2 jenis mata uang utama, yaitu mata uang dinar emas, dari kata dinarius, dan dirham perak yaitu dari kosa kata Yunani drachmos. Terdapat juga mata uang pecahan atau disebut maskur seperti qitha dan mithqal. Pada 4 hijrah dunia Islam mengalami krisis mata uang emas dan perak, maka dibuatlah dari tembaga atau campuran tembaga dengan perak yang disebut dengan fulus (dari bahasa Latin follies), yaitu mata uang tembaga tipis. Mata uang itu disebut juga al-Qarathis karena mirip dengan lembaran kertas. mata uang pada waktu itu ditimbang, karena untuk mencegah penipuan, mereka lebih suka menggunakan standar timbangan. Khusus yang telah mereka miliki, yaitu :auqiyah, nasy, nuwah, mitsqal, dirham, daniq, qirath dan habbah. 10 dirham sama dengan 7 mitsqal. Berat timbangan 4,25 gram emas sama dengan 1 dinar, yaitu sama dengan 1 mitsqal. Lalu muncul istilah keuangan tempat penukaran berubah fungsinya menjadi Bank. Istilah nya antara lain shaftajah, shakk, khath, hawwalah.
Untuk melindungi kepercayaan, beberapa nomisasi dirham dikeluarkan.Tetapi, karena fluktuasi harga perak, nilai tukar antara dinar dan dirham juga terfluktuasi. Perbandingan antara 2 mata uang logam adalah 10 pada zaman Rasulullah saw dan tetap stabil pada selama periode keempat khalifah pertama (11-41/632-631). Namun stabilitas ini tidak bisa berlangsung terus-menerus. Dua logam mulia itu menghadapi berbagai tekanan dari permintaan, maupun dari penawaran sehingga menimbulkan ketidakstabilan harga relatifnya. Pada masa ke 2 periode Umayyah (41-132/661-750), perbandingan relative sekitar 12. Fluktuasi ini disebabkan oleh penurunan nilai mata uang, tetapi lebih disebabkan kemerosotan harga relative perak terhadap emas. Lalu mata uang dari logam buruk keluar dari sirkulasi mata uang logam baik, disebut dnegan fenomena Gresham’s Law, abad ke-16.

2.5.2     Daulah Bani Abbasiyah
A.   Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur (137-158 H/753-744 M)
Abu Ja'far Al-Manshur menjabat khalifah kedua Bani Abbasiyah menggantikan saudaranya Abul Abbas As-Saffah. Abu Ja'far Al-Manshur adalah putra Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur membangun kota Baghdad menjadi pusat pemerintahan dan meletakkan dasar-dasar ekonomi dan keuangan negara dengan baik dan terkendali. Oleh sebab itu, tidak pernah terjadi defisit anggaran besar-besaran. Kas negara selalu penuh, uang yang masuk lebih banyak daripada uang keluar. Jalur-jalur administrasi pemerintahan, mulai dari pusat hingga ke daerah ditata dengan rapi sehingga sistem dan roda pemerintahan berjalan dengan baik. Kebijakannya ini menimbulkan dampak yang positif di kalangan para pejabat pemerintahan, karena terjadi koordinasi dan kerja sama yang baik di antara mereka. Koordinasi dan kerja sama itu terjadi antara Kepala Qadhi (Jaksa Agung), Kepala Polisi Rahasia, Kepala Jawatan Pajak, dan Kepala Jawatan Pos. Hal itu dilakukan untuk melindungi masyarakat dari berbagai tindakan yang tidak adil dengan memberikan hak-hak masyarakat. Kebijakan moneter melanjutkan pendahulunya Al-Saffah yaitu mencetak dinar dengan mengikuti model dinar Umaiyah dan tidak mengubah sedikitpun kecuali pada ukiran-ukiran dan ukuran dirhamnya berkurang.

B. Khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H/786-808 M)
Ketika pemerintahan dikuasai Khalifah Harun Al-Rasyid, pertumbuhan ekonomi berkembang dengan pesat dan kemakmuran Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya. Pada masa pemerintahannya, khalifah melakukan diversifikasi sumber pendapatan negara. Ia membangun baitul mal untuk mengurus keuangan negara dengan menunjuk seorang wazir yang mengepalai beberapa Diwan, yaitu:
1.    Diwan al-khazanah: bertugas mengurus seluruh perbendaharaan Negara.
2.     Diwan al azra: bertugas mengurus kekayaan negara yang berupa hasil bumi.
3.    Diwan khazain as-siaah: berugas mengurus perlengkapan angkatan perang.

Sumber pendapatan pada masa pemerintahan ini adalah kharaj, jizyah, zakat, fa’i, ghanimah, usyr, dan harta lainnya seperti wakaf, sedekah, dan harta warisan yang tidak mempunyai ahli waris.

Kebijakan Moneter Khalifah Harun Al-Rasyid adalah membangun kantor inspektur uang logam (nazir as-Sikkah) sehingga standar dinar sangat tinggi kualitasnya bertujuan untuk melindungi integritas uang logam dan kepercayaan umum,



















BAB III
PENUTUP
          
1.1    Kesimpulan
1.       Perekonomian Arab di zaman Rasulullah Saw bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter, bahkan jauh dari gambaran seperti itu. Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab, bahkan menjadi alat bayar resmi : Dinar dan Dirham
2.       Perkembangan Moneter Islam masa khalifah Abu Bakar Assidiq Mata uang pada masa itu adalah dinar Heraklius dan dirham Persia, disamping ada uang fulus untuk pembelian barang yang murah. Koin dinar dan dirham pada masa Abu Bakar masih mempunyai berat yang tetap. Nilai dinar sama dengan sepuluh dirham. Nilai satu dirham sama dengan 48 fulus.
3.       Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, administrasi keuangan kaum muslim didelegasikan kepada orang-orang Persia. Pada saat itu Umar mempekerjakan ahli pembukuan dan akuntan orang Persia dalam jumlah besar untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran uang di baitul maal (keuangan negara). Mereka juga menggunakan satuan dirham untuk membantu meningkatkan sirkulasi uang.  Pada masa kekhilafahan Umar juga diterbitkan surat pembayaran cek yang penggunaannya diterima oleh masyarakat
4.       Pada masa khalifah Usman bin Affan sudah ada mata uang yang bertuliskan Bismillah, Barakah, Bismillah Rabbi, Allah dan Muhammad dengan jenis tulisan Kufi
5.      Kebijakan moneter Muawiyah bin Sofyan adalah mencetak mata uang,
6.       Abd al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri dnegan memakai kata-kata dan tulisan Arab serta tetap mencantumkan kalimat Bismillahirrahmaanirrahiim pada tahun 74 H (659 M)
7.      Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur Kebijakan moneter melanjutkan pendahulunya Al-Saffah yaitu mencetak dinar dengan mengikuti model Dinar Umaiyah dan tidak mengubah sedikitpun kecuali pada ukiran-ukiran dan ukuran dirhamnya berkurang.
8.      Kebijakan Moneter Khalifah Harun Al-Rasyid adalah membangun kantor inspektur uang logam (nazir as-Sikkah) sehingga standar dinar sangat tinggi kualitasnya bertujuan untuk melindungi integritas uang logam dan kepercayaan umum,

1.2    Saran
1.         Diharapkan dengan mengetahui sejarah Kebijakan Moneter Islam ini kita bisa meneladani kebijakan dari tiap-tiap tokoh Islam.
2.         Diharapkan dengan adanya  Penggunaan mata uang dari tokoh Islam diatas, bisa menjadikan tolak ukuran bagi kebijakan Moneter Islam sekarang.










DAFTAR PUSTAKA

Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Gramata Publishing, Depok 2010
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam
Anita Rahmawati, Ekonomi Makro Islam
Muhammad M.Ag., Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islami
Paul A. Samuelson & William D.Nordhaus, Ekonomi edisi 12
http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter








[1] Muh Diya al-Din al-Ris (1961), Al-kharaj wa al-Nuzum al-Maliyya li al-Dawlah al-islamiyyah, Cairo: Al Maktabah al Angelo al Misriyah, hlm 369
[2] Misri, Rafiq al- (1990), Al-Islam wa al-Nuqud, Jeddah: Markaz al-Nashr al-Ilmi King Abdul Aziz University.
[3] M. Umer Chapra. (2000).:Why has Islamic Prohibited Interest? Review of Islamic Economics, No.9, hlm:5-20
[4] M. A. Sabzwari, Sistem Ekonomi dan Fiskal pada Masa Pemerintahan Rasulullah SAW,dalam Adiwarman. Hal. 81
[5] Ibid hal. 28-29

No comments:

Post a Comment