BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keadilan sosio
ekonomi, salah satu sisi yang paling menonjol dari suatu masyarakat Islam yang
diharapkan menjadi suatu jalan hidup (way of life) dan bukan sebagai fenomena
yang terisolasi, semangat ini harus menembus seluruh interaksi manusia, sosial,
ekonomi, dan politik.
Ketidakadilan
di suatu daerah telah tersebar ke daerah, satu lembaga yang salah tidak mungkin
bisa mempengaruhi yang lain, bahkan dibidang bisnis dan ekonomi, semua nilai
harus bergerak kearah keadilan sehingga secara keseluruhan mendukung bukan
melemahkan apalagi menghilangkan, keadilan sosio ekonomi.
Di antara
ajaran Islam yang paling penting untuk menegakkan keadilan dan membatasi
eksploitasi dalam transaksi bisnis adalah pelarangan semua bentuk upaya
“memperkaya diri secara tidak sah (aql amwal al-nas bi al-batil) Al-qur’an
dengan tegas memerintahkan kaum muslimin untuk tidak saling berebut harta
secara batil atau dengan cara yang tidak dapat dibenarkan, sebagaimana firman
Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi:
وَلاَ تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ
لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِاْلإِثْمِ وَأَنتُمْ
تَعْلَمُونَ {البقرة: 188}
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha
dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan
yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian
(1). Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta
terjadinya peningkatan output keseimbangan. Hampir semua sektor ekonomi
kapitalis terait dengan sistem bunga sehingga sektor moneter lebih cepat
berkembang dari pada sektor moneter. Hal ini disebabkan karena sektor moneter
lebih cepat memberikan keuntungan dari pada sektor rill.
Oleh karena
itu, pemakalah tertarik untuk mengupas lebih dalam mengenai pandangan Islam
mengenai kebijakan moneter dalam rangka menjaga keadilan, ketentraman, dan
keharmonisan sosio-ekonomi masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian dari Sejarah Perkembangan Moneter islam ?
2.
Bagaimana perkembangan moneter islam pada masa Rosululloh ?
3.
Bagaimana perkembangan moneter islam pada masa Khulafaur Rosyidin ?
4.
Bagaimana perkembangan moneter islam pada masa Pasca Kholifah ?
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Kebijakan Moneter Islam.
2.
Untuk mengetahui perkembangan moneter islam pada masa Rosululloh.
3.
Untuk mengetahui perkembangan moneter islam pada masa Khulafaur
Rosyidin.
4.
Untuk mengetahui perkembangan moneter islam pada masa Pasca
Kholifah
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Kebijakan Moneter Islam
Sistem moneter sepanjang zaman telah
mengalami banyak perkembangan, sistem keuangan inilah yang paling banyak
dilakukan studi empiris maupun historis bila dibandingkan dengan disiplin ilmu
ekonomi yang lain. Sistem keuangan pada zaman Rasulullah digunakan bimetalic
standard yaitu emas dan perak (dirham dan dinar) karena keduanya
merupakan alat pembayaran yang sah dan beredar di masyarakat. Nilai tukar emas
dan perka pada masa Rasulullah ini relatif stabil dengan nilai kurs
dinar-dirham 1:10. Namun demikian, stabilitas nilai kurs pernah mengalami
gangguan karena adanya disequilibrium antara supply dan demand. Misalkan, pada
masa pemerintahan Umayyah (41/662-132/750) rasio kurs antara dinar-dirham 1:12,
sedangkan pada masa Abbasiyah (132/750-656/1258) berada pada kisaran 1:15. [[1]]
Di samping nilai tukar pada dua
pemerintahan ini, pada masa yang lain nilai tukar dirham dan dinar mengalami
berbagai fluktuasi dengan nilai paling rendah pada level 1:35 sampai dengan
1:50. Instabilitas dalam nilai tukar uang ini akan mengakibatkan terjadinya bad
coins to drive good coins out of circulations [[2]] atau
uang kualitas buruk akan menggantikan uang kualitas baik, dalam literatur
konvensional peristiwa ini disebut sebagai hukum Gresham. Seperti
yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Bani Mamluk (1263-1328 M), di mana
mata uang logam yang beredar terbuat dari fulus (tembaga) mendesak keberadaan
uang logam emas dan perak. Peristiwa ini terjadi bila uang dari jenis dinar
(emas) dan dirham (perak) menghilang dari peredaran karena adanya perbedaan nilai
kurs dengan daerah lain. Sebagai contoh bila kurs di wilayah Mamluk akan dibawa
ke daerah lain yang akan dapat ditukarkan dengan 25 fulus, tentu saja perbedaan
nilai ini akan mengakibatkan emas di peredaran akan menghilang. Oleh Ibn
Taimiyah dikatakan bahwa uang dengan kualitas rendah akan menendang keluar uang
kualitas baik
2.2 Manajemen Moneter Islam
Sebuah
pertanyaan awal yang mesti dijawab adalah apakah keberadaan fiduciary
money dalam ekonomi Islam diperbolehkan? Adakah mekanisme yang memungkinkan
untuk mencapai kestabilan nilai tukar fiduciaty money dengan
menghilangkan penggunaan suku bunga dan instrumen lain yang dilarang dalam
syari’ah?
Dalam Alqur’an
maupun sunnah tidak ditemukan secara spesifik keharusan untuk menggunakan dinar
(emas) dan dirham (perah) sebagai standar nilai tukar uang (full-bodied
monometallic standard). Khalifah ‘Umar bin Khatab (23/644), telah mencoba
untuk memperkenalkan jenis uang fiducier ini juga mendapat dukungan seperti
Ahmad ibn Hamball (241/855), Ibn Hazm (456/1064) dan Ibn Taimiyah (505/1328).
Merujuk dari pendapat para fuqaha ini tidak ditemukan akan keharusan memakai
emas dan perak sebagai alat pembayar, walaupun pada masa itu
keberadaan full-bodied money merupakan sebuah kezaliman.
Namun di samping memperbolehkan uang fiducier, Ibn Taimiyah mengingatkan bahwa
penggunaan uang ini akan mengakibatkan hilangnya uang dinar dan emas dari
peredaran karena adanya hukum Gresham. Imam Al-Ghazali memperbolehkan
penggunaan uang yang tidak dikaitkan dengan emas atau perak selama pemerintah
mampu menjaga nilainya.
Secara umum,
para fuqaha telah menyepakati bahwa hanya otoritas yang berkuasa saja yang
berhak untuk mengeluarkan uang tersebut. Dalam hal ini, Imam Al-Ghazali
mensyaratkan pemerintah untuk menyatakan uang fiducier yang dicetak sebagai
alat pembayaran yang resmi, wajib menjaga nilainya dengan mengatur jumlah
uang beredar sesuai dengan kebutuhan dan memastikan tidaknya perdagangan uang.
Penekanan Alqur’an mengenai uang adalah jaminan adanya keadilan dalam fungsinya
sebagai alat tukar, alat ukur dan alat penyimpan daya beli.
Keberadaan
uang dalam sebuah perekonomian memberikan arti yang terpenting,
ketidakadilan dari ukur yang diakibatkan adanya instabilitas nilai tukar uang
akan mengakibatkan perekonomian tidak berjalan pada titik keseimbangan. Hal ini
akan semakin mempersulit untuk merealisasikan keadilan dalam sosial ekonomi dan
kesejahteraan sosial. Ibn Khaldun mengatakan bahwa suatu negeri tidak akan
mungkin mungkin mampu melakukan pembangunan secara berkesinambungan tanpa
adanya keadlian dalam sistem yang dianutnya.[[3]]
Stabilitas harga berarti terjaminnya keadilan uang dalam fungsinya sehingga
perekonomian akan relatif berada dalam kondisi yang memungkinkan teralokasinya
sumber daya secara merata, terdistribusinya pendapatan, optimum growth,
full employment dan stabilitas perekonomian.
Pada dasarnya,
kebutuhan manusia dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu perlu serta mendesak
dan tidak perlu serta kurang bermanfaat. Komponen pertama dapat dimasuki sebagai
permintaan uang untuk konsumsi pemenuhan kebutuhan dan investasi produktif.
Sedangkan jenis kedua meliputi konsumsi yang berlebihan, investasi yang tidak
produktif dan spekulasi.
Dengan kata
lain, upaya regulasi untuk mengendalikan permintaan uang dengan suku bunga
sebagai instrumen moneter malah akan mengakibatkan penyalahgunaan sumber dana untuk
tujuan yang tidak produktif. Regulasi yang dicirikan dengan memainkan peranan
suku bunga dalam sektor makro telah membawa permintaan uang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan yang kurang perlu, investasi yang kurang produktif dan tingginya
spekulasi. Oleh karena itulah para ekonom Islam lebih mengandalkan pada tiga
variabel-variabel penting di dalam manajemen permintaan uang, yaitu:
a. Nilai-nilai moral
b. Lembaga-lembaga sosial-ekonomi dan politik, termasuk mekanisme
harga
c. Tingkat keuntungan rill sebagai pengganti keberadaan suku bunga.
Ketiga variabel
ini akan saling mendukung dalam mengendalikan permintaan uang. Meskipun
nilai-nilai moral kurang mampu secara langsung dalam menentukan seberapa besar
jumlah uang yang diminta namun variabel ini akan mengurangi sikap konsumsi yang
boros dan tidak perlu, juga akan mengurangi tindakan penggunaan uang yang
bersifat spekulatif. Mekanisme harga juga akan membantu mengalokasikan sumber
daya pada tujuan yang lebih efesien. Keberadaan suku bunga sebagai instrumen
intermediary dalam sistem keuangan dapat menjadikan pola konsumsi
masyarakat di luar batas kemampuannya dan mengarahkan investasi pada bidang
yang kurang produktif atau spekulatif, disebabkan sistem bunga telah gagal
sebagai mekanisme kontrol terhadap penggunaan dana pinjaman. Dengan adanya tingkat
keuntungan sebagai pengganti dari keberadaan suku bunga diharapkan akan lebih
mampu untuk mengarahkan pada pola permintaan uang yang ditujukan untuk konsumsi
yang tidak berlebihan dan investasi yang berorientasi keuntungan di sektor
rill. Berkorespondensinya ketiga variabel dalam satu sistem ini akan dapat
menciptakan pola permintaan uang yang relatif stabil.
2.3 Sejarah
Perkembangan Moneter Islam Pada Masa Rosululloh
Mata uang yang digunakan bangsa Arab adalah dinar dan dirham.
Dirham diasumsikan sebagai satuan uang, nilai dinar adalah perkalian dari
dirham, sedangkan jika diasumsikan sinar sebagai unit moneter, nilainya adalah
sepuluh kali dirham. Walaupun demikian, dalam perkembangan berikutnya, dirham
lebih umum digunakan daripada dinar. Hal ini sangat berkaitan erat dengan
penaklukan tentara Islam terhadap hampir seluruh wilayah kekaisaran Persia.[[4]]
Sejak nilai tukar merosot terus, Bank Indonesia menerapkan
kebijakan suku bunga tinggi. Dari sisi kemampuan SBI menyedot rupiah, hasilnya
mulai tampak. Akan tetapi, besaran makro lainnya dan industri perbankan malah
sebaliknya. The Asian Banker Journal, Mei 1998, dalam editorialnya menampilkan
perkiraan para bankir bahwa tingkat kredit bermasalah di Indonesia tahun 1998
mencapai 20 %, bahkan para analis memperkirakan 50-55 %. [5]
Kebijakan
moneter sebenarnya bukan hanya mengotak atik suku bunga. Bahkan sejak zaman
Rasulullah Saw dan Khulafaur Rasyidin, kebijakan moneter dilaksanakan tanpa
menggunakan instrumen bunga sama sekali.
Perekonomian
Jazirah Arabia ketika itu adalah ekonomi dagang, bukan ekonomi yang berbasis
sumber daya alam; minyak bumi belum ditemukan dan sumber daya alam lainnya terbatas.
Perekonomian
Arab di zaman Rasulullah Saw bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal
barter, bahkan jauh dari gambaran seperti itu. Valuta asing dari Persia dan
Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab, bahkan menjadi alat bayar resmi : Dinar dan Dirham (2). Sistem devisa
bebas diterapkan, tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar atau
dirham.
Bila para
pedagang mengekspor barang, berarti dinar/dirham diimpor. Sebaliknya, bila
mereka mengimpor barang, berarti dinar/dirham diekspor. Jadi, dapat dikatakan
bahwa keseimbangan supply dan demand di pasar
uang adalah derived market dari keseimbangan aggregate
supply dan aggregate demand di pasar barang dan jasa.
Nilai emas dan
perak yang terkandung dalam dinar dan dirham sama dengan nilai nominalnya,
sehingga dapat dikatakan penawaran uang elastis sempurna terhadap tingkat
pendapatan. Tidak adanya larangan impor dinar/dirham berarti penawaran uang
elastis; kelebihan penawaran uang dapat diubah menjadi perhiasan emas atau
perak. Tidak terjadi kelebihan penawaran atau permintaan sehingga nilai uang
stabil. Untuk menjaga kestabilan ini, beberapa hal berikut dilarang:
a.
Permintaan yang tidak riil. Permintaan uang adalah hanya untuk
keperluan transaksi dan berjaga-jaga.
b.
Penimbunan mata uang (At-Taubah:34-35) sebagaimana dilarangnya
penimbunan barang.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ ۗوَالَّذِينَيَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا
يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib
Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. “ (Q.S. At
Taubah:34)
يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا
جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْۖهَٰذَامَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ
فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
“Pada hari dipanaskan emas perak itu
dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung
mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang
kamu simpan itu.”(Q.S. At Taubah:35)
c. Transaksi talaqqi
rukban, yaitu mencegat penjual dari kampung di luar kota untuk mendapat
keuntungan dari ketidaktahuan harga. Distorsi harga ini merupakan cikal bakal
spekulasi.
d. Transaksi kali
bi kali, yaitu bukan transaksi tidak tunai. Transaksi tunai diperbolehkan,
namun transaksi future tanpa ada barangnya dilarang. Transaksi
maya ini merupakan salah satu pintu riba.
e. Segala
bentuk riba (Al-Baqarah : 278).
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al Baqarah:278)
2.4 Sejarah
Perkembangan Moneter Islam Pada Masa Khulafaur Rosyidin
Pada
masa khalifah Abu Bakar Assidiq dalam waktu dua tahun tiga bulan, bangsa-bangsa
yang memberontak itu dapat kembali tenang dan menjadi bangsa bersatu yang kuat,
disegani dan berwibawa, yang akhirnya dapat menerobos dua emperium besar yang
ketika itu menguasai dunia dan menentukan arah kebudayaannya. Kedaulatan
ini pula yang kemudian mengemban peradaban di dunia selama berabad-abad
sesudahnya. Sejarah belum pernah mencatat peristiwa semacam ini (Haekal,
2004:). beliau tidak melakukan perubahan terhadap mata uang yang beredar dinar
dan dirham masih menjadi satuan mata uang negara (Al Maqrizy, 1988:129).
Mata uang pada masa itu adalah dinar Heraklius dan dirham Persia, disamping ada uang fulus untuk pembelian barang yang murah. Koin dinar dan dirham pada masa Abu Bakar masih mempunyai berat yang tetap. Nilai dinar sama dengan sepuluh dirham. Nilai satu dirham sama dengan 48 fulus.
Mata uang pada masa itu adalah dinar Heraklius dan dirham Persia, disamping ada uang fulus untuk pembelian barang yang murah. Koin dinar dan dirham pada masa Abu Bakar masih mempunyai berat yang tetap. Nilai dinar sama dengan sepuluh dirham. Nilai satu dirham sama dengan 48 fulus.
2.4.2 Pada masa Khalifah Umar
bin Khattab
Pada
masa Khalifah Umar bin Khattab, administrasi keuangan kaum muslim didelegasikan
kepada orang-orang Persia. Pada saat itu Umar mempekerjakan ahli pembukuan dan
akuntan orang Persia dalam jumlah besar untuk mengatur pemasukan dan
pengeluaran uang di baitul maal (keuangan negara). Mereka juga menggunakan
satuan dirham untuk membantu meningkatkan sirkulasi uang. Pada masa kekhilafahan Umar juga
diterbitkan surat pembayaran cek yang penggunaannya diterima oleh masyarakat.
Menurut Al-Yaqubi, Umar mengintruksikan untuk mengimpor sejumlah barang
dagangan dari Mesir ke Madinah. Karena barang yang diimpor jumlahnya cukup
besar, pendistribusiannya menjadi terhambat.
Oleh
karena itu, Khalifah Umar menerbitkan sejumlah cek kepada orang-orang yang
berhak dan rumah tangga sehingga secara bertahap setiap orang dapat pergi ke
bendahara kaum muslimin dan mengumpulkan hartanya. Penggunaan sejumlah cek oleh
Khalifah Umar yang diterima oleh publik menunjukkan penggunaanya sebagai alat
pembayaran di periode awal Islam (Sadr, 1989). Dengan terbunuhnya Yazdigird
perlawanan Persia di seluruh kerajaan itu menjadi padam. Sebagian mereka sudah
ada yang mau berdamai dengan pihak Muslim, kecuali pihak Turki penduduk Balkh
(Haikal, 1973:109). Ditaklukannya Persia, percetakan uang logam terus
beroperasi.
Pada
masa Nabi dan sepanjang masa Khulafaur Rasyidin koin mata uang asing dengan
berbagai bobot sudah dikenal di Arabia, seperti dinar, sebuah koin emas dan dirham
sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan satu mitsqal atau sama dengan
dua puluh qirat atau seratus grain barley.
Satu
mitsqal juga ekuivalen dengan 4,25 gram (Johnson, 1968:547). Bobot dirham tidak
seragam. Untuk menghindari kebingungan, Umar menetapkan bahwa dirham perak
seberat 14 qirat atau 70 grain barley. Maka rasio antara satu dirham dan satu
mithqal adalah tujuh per sepuluh
2.4.3 Pada Masa Khalifah Usman
bin Affan
Pada masa khalifah Usman bin Affan
sudah ada mata uang yang bertuliskan Bismillah, Barakah, Bismillah Rabbi, Allah
dan Muhammad dengan jenis tulisan Kufi (Al Maqrizy, 1988:60). Bahkan Usman
memperlakukan kaum Muhajirin tidak seperti pada masa Umar yang tidak boleh
berpindah-pindah. Kaum Muhajirin diperbolehkan berpindah-pindah di segenap
imperium yang tadinya dilarang, dan memperoleh kekayaan yang cukup berlimpah
dan menikmati kesenangan. Hidup serba mudah daripada di masa Umar yang harus
menahan diri (Haikal, 1973:119).
2.5 Sejarah Perkembangan Moneter Islam Pada Masa Pasca Khalifah
2.5.1 Daulah Bani Umayah
1. Khalifah Muawiyah bin Abi Sofyan (41-60 H/661-779
M)
Muawiyah bin Sofyan adalah pendiri Daulah
Umawiyah. Kareir politiknya bermula ketika ia menjabat sebagai gubernur Syam
pada masa Umar bin Khatab dan belanjut di beberapa daerah yang dimenangkannya
pada masa Usman bin Affan, seperti Romawi dan Siprus. Sistem
pemerintahannya bersifat monarki. Muawiyah menjadikan Damaskus sebagai pusat
pemerintahan, dan Baghdad sebagai pusat kegiatan keagamaan. Pembagian ini
didasarkan sistem pemerintahannya yang memisahkan antara pemegang otoritas
keagamaan dan otoritas pemerintahan. Sepanjang perjalanan kekuasaannya, wilayah
islam telah berkembang ke lawasan Timur (Negeri Asia Tengah dan Sindh) dan
Barat (Turki, Romawi dan Afrika). Kebijakan moneter Muawiyah bin Sofyan adalah
mencetak mata uang,
2. Khalifah Abdul Malik ibn Marwan (66-86 H/685-705 M)
Pemikiran yang serius terhadap penerbitan dan pengaturan
uang dalam masyarakat Islam muncul di masa pemerintahan beliau. Abd al-Malik
mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang
dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri dnegan memakai
kata-kata dan tulisan Arab serta tetap mencantumkan kalimat Bismillahirrahmaanirrahiim pada
tahun 74 H (659 M) . Pembuatan mata uang masa itu didasarkan pemikiran bahwa
mata uang selain memiliki nilai ekonomi juga sebagai pernyataan kedaulatan
Dinasti Islam. Di samping itu, mata uang juga berfungsi sebagai sarana
pengumuman keabsahan pemerintahan pada waktu itu yang namanya terpatri pada
mata uang tersebut. Khalifah Abdul Malik bin Marwan pun memerintahkan Arabisasi
mata uang sebagian dari politik Arabisasi Aparatur Negara masa pemerintahannya.
Mata uang yang dibuat di dunia Islam waktu itu disebut Sikkah.
Menurut Ibnu Khaldun kosa kata sikkah berasal dari cincin besi berasal dari
mata uang, yang pembuatannya dipukul dnegan palu. Kosa kata sikkah , selain
dikenakan terhadap mata uang juga dikenakan terhadap gedung tempat pembuatan
mata uang. Karenanya gedung tersebut juga disebut Dar as-Sikkah. Dar
as-Sikkah tersebar diberbagai pelosok wilayah Islam pada waktu itu,
sehingga Dar as-Sikkah dikenal sampai di luar kawasan Islam.
Di dunia Islam mengenal 2 jenis mata uang utama, yaitu mata
uang dinar emas, dari kata dinarius, dan dirham perak yaitu
dari kosa kata Yunani drachmos. Terdapat juga mata uang pecahan
atau disebut maskur seperti qitha dan mithqal. Pada 4 hijrah dunia Islam
mengalami krisis mata uang emas dan perak, maka dibuatlah dari tembaga atau
campuran tembaga dengan perak yang disebut dengan fulus (dari
bahasa Latin follies), yaitu mata uang tembaga tipis. Mata uang itu
disebut juga al-Qarathis karena mirip dengan lembaran kertas. mata
uang pada waktu itu ditimbang, karena untuk mencegah penipuan, mereka lebih
suka menggunakan standar timbangan. Khusus yang telah mereka miliki, yaitu :auqiyah,
nasy, nuwah, mitsqal, dirham, daniq, qirath dan habbah. 10
dirham sama dengan 7 mitsqal. Berat timbangan 4,25 gram emas sama dengan 1
dinar, yaitu sama dengan 1 mitsqal. Lalu muncul istilah keuangan tempat
penukaran berubah fungsinya menjadi Bank. Istilah nya antara lain shaftajah,
shakk, khath, hawwalah.
Untuk melindungi kepercayaan, beberapa nomisasi dirham dikeluarkan.Tetapi,
karena fluktuasi harga perak, nilai tukar antara dinar dan dirham juga
terfluktuasi. Perbandingan antara 2 mata uang logam adalah 10 pada zaman
Rasulullah saw dan tetap stabil pada selama periode keempat khalifah pertama
(11-41/632-631). Namun stabilitas ini tidak bisa berlangsung terus-menerus. Dua
logam mulia itu menghadapi berbagai tekanan dari permintaan, maupun dari
penawaran sehingga menimbulkan ketidakstabilan harga relatifnya. Pada masa ke 2
periode Umayyah (41-132/661-750), perbandingan relative sekitar 12. Fluktuasi
ini disebabkan oleh penurunan nilai mata uang, tetapi lebih disebabkan
kemerosotan harga relative perak terhadap emas. Lalu mata uang dari logam buruk
keluar dari sirkulasi mata uang logam baik, disebut dnegan fenomena Gresham’s
Law, abad ke-16.
2.5.2 Daulah Bani Abbasiyah
A. Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur (137-158 H/753-744 M)
Abu Ja'far Al-Manshur menjabat
khalifah kedua Bani Abbasiyah menggantikan saudaranya Abul Abbas As-Saffah. Abu
Ja'far Al-Manshur adalah putra Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin
Abdul Muthalib. Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur membangun kota Baghdad menjadi
pusat pemerintahan dan meletakkan dasar-dasar ekonomi dan keuangan negara
dengan baik dan terkendali. Oleh sebab itu, tidak pernah terjadi defisit
anggaran besar-besaran. Kas negara selalu penuh, uang yang masuk lebih banyak
daripada uang keluar. Jalur-jalur administrasi pemerintahan, mulai dari pusat
hingga ke daerah ditata dengan rapi sehingga sistem dan roda pemerintahan
berjalan dengan baik. Kebijakannya ini menimbulkan dampak yang positif di
kalangan para pejabat pemerintahan, karena terjadi koordinasi dan kerja sama
yang baik di antara mereka. Koordinasi dan kerja sama itu terjadi antara
Kepala Qadhi (Jaksa Agung), Kepala Polisi Rahasia, Kepala
Jawatan Pajak, dan Kepala Jawatan Pos. Hal itu dilakukan untuk melindungi
masyarakat dari berbagai tindakan yang tidak adil dengan memberikan hak-hak
masyarakat. Kebijakan moneter
melanjutkan pendahulunya Al-Saffah yaitu mencetak dinar dengan mengikuti model
dinar Umaiyah dan tidak mengubah sedikitpun kecuali pada ukiran-ukiran dan
ukuran dirhamnya berkurang.
B. Khalifah Harun al-Rasyid (170-193
H/786-808 M)
Ketika pemerintahan dikuasai
Khalifah Harun Al-Rasyid, pertumbuhan ekonomi berkembang dengan pesat dan
kemakmuran Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya. Pada masa pemerintahannya,
khalifah melakukan diversifikasi sumber pendapatan negara. Ia membangun baitul
mal untuk mengurus keuangan negara dengan menunjuk seorang wazir yang
mengepalai beberapa Diwan, yaitu:
1. Diwan al-khazanah: bertugas mengurus
seluruh perbendaharaan Negara.
2. Diwan al azra: bertugas
mengurus kekayaan negara yang berupa hasil bumi.
3. Diwan khazain as-siaah: berugas
mengurus perlengkapan angkatan perang.
Sumber pendapatan pada masa
pemerintahan ini adalah kharaj, jizyah, zakat, fa’i, ghanimah, usyr, dan harta
lainnya seperti wakaf, sedekah, dan harta warisan yang tidak mempunyai ahli
waris.
Kebijakan
Moneter Khalifah Harun Al-Rasyid adalah membangun kantor inspektur uang logam (nazir as-Sikkah)
sehingga standar dinar sangat tinggi kualitasnya bertujuan untuk melindungi
integritas uang logam dan kepercayaan umum,
BAB III
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
1.
Perekonomian Arab di zaman Rasulullah Saw bukanlah ekonomi
terbelakang yang hanya mengenal barter, bahkan jauh dari gambaran seperti itu.
Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat
Arab, bahkan menjadi alat
bayar resmi : Dinar dan Dirham
2.
Perkembangan Moneter Islam masa khalifah Abu Bakar Assidiq Mata uang pada
masa itu adalah dinar Heraklius dan dirham Persia, disamping ada uang fulus
untuk pembelian barang yang murah. Koin dinar dan dirham pada masa Abu Bakar
masih mempunyai berat yang tetap. Nilai dinar sama dengan sepuluh dirham. Nilai
satu dirham sama dengan 48 fulus.
3.
Pada masa
Khalifah Umar bin Khattab, administrasi keuangan kaum muslim didelegasikan
kepada orang-orang Persia. Pada saat itu Umar mempekerjakan ahli pembukuan dan
akuntan orang Persia dalam jumlah besar untuk mengatur pemasukan dan
pengeluaran uang di baitul maal (keuangan negara). Mereka juga menggunakan
satuan dirham untuk membantu meningkatkan sirkulasi uang. Pada masa
kekhilafahan Umar juga diterbitkan surat pembayaran cek yang penggunaannya
diterima oleh masyarakat
4.
Pada masa
khalifah Usman bin Affan sudah ada mata uang yang bertuliskan Bismillah,
Barakah, Bismillah Rabbi, Allah dan Muhammad dengan jenis tulisan Kufi
5.
Kebijakan
moneter Muawiyah bin Sofyan adalah mencetak mata uang,
6.
Abd al-Malik
mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang
dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri dnegan memakai
kata-kata dan tulisan Arab serta tetap mencantumkan kalimat Bismillahirrahmaanirrahiim pada
tahun 74 H (659 M)
7.
Khalifah Abu
Ja’far Al-Mansur Kebijakan moneter
melanjutkan pendahulunya Al-Saffah yaitu mencetak dinar dengan mengikuti model Dinar
Umaiyah dan tidak mengubah sedikitpun kecuali pada ukiran-ukiran dan ukuran
dirhamnya berkurang.
8.
Kebijakan
Moneter Khalifah Harun Al-Rasyid adalah membangun kantor inspektur uang logam (nazir as-Sikkah)
sehingga standar dinar sangat tinggi kualitasnya bertujuan untuk melindungi
integritas uang logam dan kepercayaan umum,
1.2
Saran
1.
Diharapkan dengan mengetahui sejarah Kebijakan Moneter Islam ini
kita bisa meneladani kebijakan dari tiap-tiap tokoh Islam.
2.
Diharapkan dengan adanya
Penggunaan mata uang dari tokoh Islam diatas, bisa menjadikan tolak
ukuran bagi kebijakan Moneter Islam sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Euis
Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Gramata Publishing, Depok 2010
Adiwarman
A. Karim, Ekonomi Makro Islam
Anita
Rahmawati, Ekonomi Makro Islam
Muhammad
M.Ag., Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islami
Paul
A. Samuelson & William D.Nordhaus, Ekonomi edisi 12
http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter
[1] Muh Diya al-Din al-Ris (1961), Al-kharaj wa al-Nuzum al-Maliyya li
al-Dawlah al-islamiyyah, Cairo: Al Maktabah al Angelo al Misriyah, hlm 369
[2] Misri, Rafiq al- (1990), Al-Islam wa al-Nuqud, Jeddah: Markaz al-Nashr
al-Ilmi King Abdul Aziz University.
[3] M. Umer Chapra. (2000).:Why has Islamic Prohibited Interest? Review
of Islamic Economics, No.9, hlm:5-20
[4] M. A. Sabzwari, Sistem Ekonomi dan Fiskal pada Masa
Pemerintahan Rasulullah SAW,dalam Adiwarman. Hal. 81
No comments:
Post a Comment